6 Oktober 2015

Pola Pikir Seperempat Abad

Jauh sebelum perbankan syariah masuk ke Indonesia pada tahun 1991, mindset masyarakat Indonesia telah lama terbentuk dengan pemahaman yang diterapkan oleh perbankan konvensional. Bunga misalnya. Pemahaman masyarakat terhadap “bunga” sudah sangat merasuk dalam benak mereka. Misal ketika menempatkan dana yang berupa deposito, pasti akan mempertimbangkan suku bunga tertinggi. Bank mana yang menawarkan bunga paling tinggi. Selain aman tentunya. Aman dan menguntungkan, kira-kira begitu istilahnya. Bisa dibayangkan, orang yang mempunyai uang 1 Milyar kemudian mendepositokan uangnnya di sebuah bank konvensional dengan suku bunga 7% per tahun misalnya, tanpa bekerja pun setiap bulan orang tersebut akan mendapatkan bunga sebesar -/+ 4,5 juta!! Jika investasi yang dilakukan oleh bank terhadap dana yang didepositokan tersebut mengalami penurunan laba, nasabah tidak turut mengalami penurunan suku bunga selama jangka waktu penempatan. Nasabah tetap mendapatkan bunga sesuai persentase di awal. Nasabah pun dapat menghitung kira-kira akan mendapatkan laba seberapa besar. Berbeda dengan konsep yang ditawarkan oleh perbankan syariah. Masih mengambil contoh deposito , imbal hasil deposito pada bank syariah diatur berdasarkan akad mudharabah ( bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal ). Bagi hasil (nisbah) dihitung berdasarkan persentase yang disepakati pada awal akad. Nasabah pun boleh melakukan penawaran porsi persentase. Kedua belah pihak akan menanggung hasil usaha secara bersama-sama sesuai persentase. Jika investasi yang dilakukan oleh pihak bank mengalami kenaikan laba maka kenaikan akan dibagi bersama sesuai persentasi bagi hasil (nisbah) di awal akad. Begitu pula jika mengalami penurunan laba. Nominal bagi hasil kedua belah pihak akan sama-sama menurun. Dan dalam akad mudharabah, indeks laba bisa berubah-ubah setiap bulannya. Hal ini menyesuaikan kondisi ekonomi dan kinerja investasi yang dikelola bank syariah tersebut. Oleh karena itu bank syariah tidak bisa menjamin berapa besar nomial bagi hasil yang akan diterima nasabah dari deposito syariah nya di masa depan, walaupun nisbah bagi hasilnya tetap. 

Dengan mindset yang terlajur melekat dalam benak sebagian besar masyarakat, maka usaha lembaga keuangan syariah harus ekstra kuat dan ketat. Hampir seperempat abad keuangan syariah diperkenalkan, namun konsep keuangan konvensional masih begitu melekat. Maraknya dunia keuangan dengan embel-embel “syariah” pun belum mampu melonjakkan pertumbuhan yang drastis. Kurang “melek” terhadap manfaat yang didapat selain dari segi “spriritual” bisa menjadi salah satu penyebab. Ketidakpedulian terhadap kemana dana yang ditempatkan akan diinvestasikan juga menjadi faktor pendukung. Gencarnya pembukaan cabang-cabang syariah jika tidak diikuti dengan “menyuntik” pemahaman masyarakat terhadap manfaat yang diperoleh pada khususnya, sama halnya berlari tapi pelan. Menyuntik pemahaman paling tepat dilakukan terhadap generasi muda. Melalui sekolah-sekolah misalnya. Sekolah umum atau pesantren-pesantren. Menyuntikkan pemahaman dapat juga dilakukan ketika ada pengajian-pengajian oleh para ustadz dan ustadzah. Untuk praktek yang riil dapat menggandeng pengusaha-pengusaha muslim untuk melakukan segala aktifitas keuangannya melalui bank syariah
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar